(Original article : Patrick Kwan, M.D., Ph.D., Steven C. Schachter, M.D., and Martin J. Brodie, M.D. Drug-Resistant Epilepsy, NEJM). Edited and translated by Fitria Ningsih M.D.
Penggunaan obat dalam ilmu kedokteran merupakan salah satu bagian penting dalam rangkaian proses penyembuhan pasien. Satu hal yang menjadi masalah dalam penggunaan obat ini adalah munculnya resistensi terhadap obat tertentu. Kenyataannya, saat ini resistensi tidak hanya ditemukan pada golongan obat antibiotik. Dalam sebuah review artikel yang diterbitkan oleh New England Journal Medicine (NEJM) pada bulan September 2011 menyebutkan bahwa telah ditemukan beberapa kasus resistensi pada pengobatan epilepsi. Sebuah komunitas yang berdasarkan pada penelitian di Perancis selatan memperkirakan lebih dari 22,5% pasien dengan epilepsi telah mengalami resistensi obat, yang dapat meningkatkan resiko kematian dini, disfungsi psikososial dan menurunkan kualitas hidup.
The International Against Epilepsi telah mengembangkan definisi resistensi obat epilepsi secara global. Keseluruhan kerangka resistensi obat epilepsi terdiri atas dua level hierarki. Pada level pertama menyediakan skema umum penggolongan hasil dari setiap pengobatan, apakah hasilnya bebas dari kejang atau mengalami gagal pengobatan berdasarkan kriteria standar. Pada kasus seorang yang pasien telah menjalani pengobatan antiepilepsi dan tidak diketahui hasilnya, pengobatan ini tidak dimasukkan kedalam kedua golongan di atas, atau kasus sebuah obat antiepilepsi yang digunakan secara tidak adekuat sebelumnya dan tidak berkesinambungan pada dosis yang rendah. Pemeriksaan level pertama membentuk dasar penentuan level kedua, yang menyebutkan bahwa resistensi obat epilepsi adalah kegagalan pengobatan dengan penggunaan dua (atau lebih) obat epilepsi secara adekuat dengan jenis obat dan regimen (monoterapi atau kombinasi) yang tepat untuk mendapatkan kesembuhan. Definisi ini ditetapkan berdasarkan pada observasi bahwa jika kejang tidak bisa dihilangkan pada penggunaan dua obat antiepilepsi, kemungkinan keberhasilan regimen berikutnya berkurang. Meskipun, resistensi obat dapat menurun sewaktu-waktu (4% pada orang dewasa dan laju yang lebih tinggi pada anak-anak), relaps kejang masih bisa ditemukan dan bersifat fluktuatif. Indikasi penentuan resistensi obat lainnya adalah frekuensi kejang yang cukup tinggi pada fase awal ditemukannya penyakit lain penyebab epilepsi utamanya sklerosis hippokampus.
The International Against Epilepsi telah mengembangkan definisi resistensi obat epilepsi secara global. Keseluruhan kerangka resistensi obat epilepsi terdiri atas dua level hierarki. Pada level pertama menyediakan skema umum penggolongan hasil dari setiap pengobatan, apakah hasilnya bebas dari kejang atau mengalami gagal pengobatan berdasarkan kriteria standar. Pada kasus seorang yang pasien telah menjalani pengobatan antiepilepsi dan tidak diketahui hasilnya, pengobatan ini tidak dimasukkan kedalam kedua golongan di atas, atau kasus sebuah obat antiepilepsi yang digunakan secara tidak adekuat sebelumnya dan tidak berkesinambungan pada dosis yang rendah. Pemeriksaan level pertama membentuk dasar penentuan level kedua, yang menyebutkan bahwa resistensi obat epilepsi adalah kegagalan pengobatan dengan penggunaan dua (atau lebih) obat epilepsi secara adekuat dengan jenis obat dan regimen (monoterapi atau kombinasi) yang tepat untuk mendapatkan kesembuhan. Definisi ini ditetapkan berdasarkan pada observasi bahwa jika kejang tidak bisa dihilangkan pada penggunaan dua obat antiepilepsi, kemungkinan keberhasilan regimen berikutnya berkurang. Meskipun, resistensi obat dapat menurun sewaktu-waktu (4% pada orang dewasa dan laju yang lebih tinggi pada anak-anak), relaps kejang masih bisa ditemukan dan bersifat fluktuatif. Indikasi penentuan resistensi obat lainnya adalah frekuensi kejang yang cukup tinggi pada fase awal ditemukannya penyakit lain penyebab epilepsi utamanya sklerosis hippokampus.
Mekanisme Resistensi Obat Epilepsi
Mekanisme resistensi obat epilepsi bermacam-macam dan multifaktorial berdasarkan penyakit yang mendasari dan secara teori berdasarkan reaksi obat dalam tubuh. Pada orang dengan umur yang lebih tua kemungkinan mendapatkan serangan kejang lebih kecil dibandingkan pada anak-anak. Hipotesis utama resistensi obat epilepsi yang melibatkan mekanisme seluler telah diteliti secara luas dan digolongkan dalam beberapa kelompok. (Lihat Gambar)
Hipotesis transporter menjelaskan bahwa resistensi obat terjadi oleh karena overekspresi dari pengeluaran transporter pada fokus epilepsi. Pita ikatan-ATP protein transmembran ini menekan substrat yang berasal dari sel melawan konsentrasi gradien. Berdasarkan penelitian transporter yang paling banyak keluar adalah glikoprotein-P yang ditemukan pada daerah basal, level fisiologi pada sel endotel otak, dimana glikoprotein ini memompa xenobiotik dari ruang intraseluler masuk kembali ke dalam lumen kapiler. Dengan demikian, memelihara integritas sawar darah otak dan menurunkan akumulasi obat di dalam otak. Pada reseksi otak pasien dengan resistensi obat didapatkan regulasi yang tinggi dari glikoprotein-P dan pengeluaran transporter lainnya di dalam kapiler yang biasanya tidak ditemukan pada sel glia dan sel neuron. Terdapat sebuah bukti yang masih dipertanyakan mengenai polimorfi kode gen glikoprotein-P (ABCB1) yang kemungkinan responnya kecil terhadap terapi obat antiepilepsi. Apakah glikoprotein-P manusia menimbulkan resistensi pada obat antiepilepsi masih menyisakan kontroversi. Bukti-bukti memandang relevansi klinis hipotesis transporter masih kurang.
2. Perubahan target obatHipotesis target menjelaskan bahwa terjadi perubahan pada seluler target obat antiepilepsi yang menyebabkan penurunan sensitifitas pengobatan. Dalam suatu penelitian menunjukkan fungsi blokade natrium pada granul sel oleh karbamazepin menjadi hilang. Hal ini ditemukan pada reseksi hipokampus dari pasien dengan resistensi karbamazepin pada epilepsi lobus temporal. Meskipun demikian, hal ini tidak terjadi pada lamotrigin, yang memiliki aksi kerja farmakologi yang sama dengan karbamazepin. Polimorfisme gen SCN2A, dengan kode subunit α2 pada chanel natrium neuron, ditemukan berhubungan dengan resistensi obat antiepilepsi yang secara umum bekerja pada chanel ini. Perubahan ekspresi pada reseptor γ-asam amino butirat type A (GABAa) juga telah diobservasi pada pasien resistensi obat epilepsi dengan fokus di lobus temporal. Apakah perubahan ini berkaitan dengan penurunan sensitifitas obat-obat antiepilepsi pada daerah tersebut masih belum diketahui. Kelemahan utama pada hipotesis target adalah mekanisme kerja dari aksi obat-obat antiepilepsi masih belum dipahami secara lengkap. Hipotesis ini tidak dapat melaporkan observasi pasien yang resisten terhadap penggunaan multiple obat dengan mekanisme kerja yang berbeda, meskipun demikian hipotesis ini tidak bisa di koreksi karena perubahan pada target obat kemungkinan mempunyai kontribusi yang cukup kuat terhadap resistensi obat.
3. Obat kehilangan target yang sebenarnyaPenggunaan obat antiepilepsi umumnya ditujukan hanya untuk mencegah terjadinya kejang dan tidak disesuaikan dengan proses patogen yang terjadi pada pasien. Contohnya, adanya autoantibodi pada chanel ion yang melibatkan eksitasi dan inhibisi neuron, termasuk voltage-gated chanel kalium dan kalsium, dan pada reseptor γ-asam amino butirat type B (GABAB) telah diidentifikasi pada pasien dengan kejang atau sebaliknya penyebabnya tidak diketahui. Utamanya pada konteks klinik ensepalitis dan biasanya dihubungkan dengan kanker. Pada pasien ini biasanya tidak ada respon terhadap penggunaan obat antiepilepsi. Kemudian terdapat data dari penelitian tidak terkontrol mengenai keefektifan penggunaan obat imunoterapi pada pasien-pasien tersebut di atas. Mekanisme seluler kejang lainnya termasuk epileptogenesis adalah stress oksidatif dan disfungsi mitokondria serta penggabungan elektrik sepanjang gap junction pada neuron dan sel glia. Ketiga mekanisme ini menyuguhkan potensial nilai baharu pada perkembangan pengobatan di masa yang akan datang.
Penyebab Resistensi Obat Antiepileptik
Diagnosis resistensi obat harus dilakukan secermat mungkin. Pada kasus yang gejala kejangnya tidak menghilang harus dipikirkan penyakit utamanya, apakah telah mendapatkan pengobatan yang adekuat atau tidak? Misdiagnosis merupakan salah satu penyebab meningkatnya fenomena ini. Pada kondisi kejang epilepsi tiruan sering ditemukan keadaan sinkop vasovagal, arritmia jantung, ketidakseimbangan metabolik, dan penyakit neurologi lainnya dengan manifestasi episodik (contohnya serangan iskemia sementara dan migrain). Psikogenik, kejang nonepileptik diperkirakan berjumlah lebih dari 25% pada kasus dewasa yang telah jelas resisten terhadap obat anapileptik.
Kegagalan penggunaan terapi obat bisa terjadi oleh karena pemahaman yang tidak adekuat mengenai farmakologi obat-obat antiepilepsi, utamanya pemberian obat tepat yang sesuai dengan gejala yang ada dan karakteristik farmakokinetik (Lihat tabel 2). Kemudian spektrum obat antiepileptik yang bervariasi dan kesalahan penggolongan klasifikasi kejang juga dapat menimbulkan kegagalan dalam pengobatan dan bahkan bisa memperburuk kejang. Masalah lainnya jika obat-obat anapileptik yang diberikan tidak sesuai dengan dosis optimal yang seharusnya. Penyebab mungkin lainnya adalah gaya hidup dan perilaku pasien, utamanya mengenai pengontrolan ketaatan minum obat, yang jika tidak teratur dapat memperparah penyakit dan berakhir kematian. Serta penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang. Gangguan tidur dan stress juga bisa menjadi faktor presipitasi. (Lihat Tabel 1)
Kegagalan penggunaan terapi obat bisa terjadi oleh karena pemahaman yang tidak adekuat mengenai farmakologi obat-obat antiepilepsi, utamanya pemberian obat tepat yang sesuai dengan gejala yang ada dan karakteristik farmakokinetik (Lihat tabel 2). Kemudian spektrum obat antiepileptik yang bervariasi dan kesalahan penggolongan klasifikasi kejang juga dapat menimbulkan kegagalan dalam pengobatan dan bahkan bisa memperburuk kejang. Masalah lainnya jika obat-obat anapileptik yang diberikan tidak sesuai dengan dosis optimal yang seharusnya. Penyebab mungkin lainnya adalah gaya hidup dan perilaku pasien, utamanya mengenai pengontrolan ketaatan minum obat, yang jika tidak teratur dapat memperparah penyakit dan berakhir kematian. Serta penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang. Gangguan tidur dan stress juga bisa menjadi faktor presipitasi. (Lihat Tabel 1)
Penanganan Umum Pasien dengan Resistensi Obat Antiepilepsi
Saat pasien telah didiagnosis mengalami resistensi obat antiepilepsi, rencana penanganan pasien harus segera dilakukan untuk membatasi teradinya kerusakan kognitif dan disfungsi psikososial. Harus dapat dijelaskan kepada pasien bahwa dalam keadaan seperti ini, untuk mencapai keadaan bebas dari kejang hanya dengan terapi obat kemungkinan tidak bisa. Hal ini membuka jalan untuk penggunaan terapi paliatif selanjutnya jika dibutuhkan. Terapi non-obat yang bisa dipertimbangkan adalah pembedahan. Pasien harus dijelaskan mengenai resiko akut yang bisa didapatkan jika tidak mendapatkan penanganan, Misalnya: kematian tiba-tiba oleh karena epilepsi sehingga membutuhkan tindakan pencegahan berupa pengawasan yang ketat pada malam hari. Meskipun bukti kuat mengenai tindakan pencegahan ini masih kurang, namun hal ini dapat digunakan sebagai livesaving. Keadaan pasien yang dapat ditemukan dalam pengobatan resistensi antipileptik seperti: kecemasan, depresi, disturbansi memori dan kognitif, tentunya juga membutuhkan penanganan yang sesuai. (Lihat diagram)
Penanganan Pasien Dengan Resistensi Obat Antiepilepsi
Pada percobaan yang dilakukan secara double-blind dan random didapatkan bahwa penanganan pasien dengan resistensi obat antiepilepsi menggunakan obat-obat modern sedikit mengecewakan, sehingga membutuhkan upaya berkelanjutan untuk mendapatkan senyawa yang baru. Meskipun demikian, didapatkan penurunan frekuensi kejang sebesar 50% atau lebih yang umumnya diperlihatkan sebagai keberhasilan untuk tujuan regulasi, namun bukti relevansi klinis untuk peningkatan status kesehatan masih kurang dan bebas secara permanen dari kejang harus menjadi target utama dalam pengobatan.
Dalam 2 tahun terakhir, dua jenis obat terbaru dari golongan sodium chanel bloker, lacosamide (Amerika Serikat dan Eropa) and eslicarbazepine (Eropa) telah diizinkan penggunaanya pada orang dewasa yang mengalami jenis kejang parsial dengan ataupun tanpa kejang general sekunder. Rufinamide telah menunjukkan kefektifannya pada penanganan sindrom Lennox-Gastaut pada bayi dan anak-anak. Baru-baru ini, vigabatrin telah diizinkan pula penggunaannya di Amerika Serikat sebagai obat adjuvant untuk kejang parsial kompleks pada orang dewasa dan sebagai monoterapi pada spasme bayi yang berumur 1 bulan sampai 2 tahun. Stiripentol telah disetujui penggunaannya di eropa pada anak-anak yang menderita sindrom Dravet (sindrom epilepsi yang jarang didapatkan). Di Eropa dan Amerika Serikat telah menjamin peredaran retigabin (ezogabin di amerika serikat) sebagai terapi adjuvant untuk penanganan kejang parsial dengan atau tanpa gejala kejang general sekunder pada dewasa yang susah disembuhkan. Tidak seperti obat antiepilepsi lainnya, obat ini bekerja dengan membuka chanel potassium. Obat lainnya yang digunakan pada fase percobaan ketiga adalah brivaracetam (menyerupai levetiracetam, yang berikatan dengan molekul protein vesikel sinaptik 2A) dan perampanel, yang memodulasi neurotransmisi glutamate yang dimediasi oleh α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazole asam propionat (AMPA).
Pasien yang ditemukan memenuhi kriteria resistensi obat harus dipertimbangkan untuk mendapatkan penanganan pembedahan, utamanya jika pasien ini telah pernah mendapatkan operasi sebelumnya misalnya pada sclerosis hipokampus unilateral atau lesi reseksi lainnya. Keputusan untuk mendapatkan penanganan terapi membutuhkan pemeriksaan resiko-keuntungan sebelumnya termasuk mempertimbangkan percobaan obat antiepilepsi yang mendukung ataupun yang tidak. Prosedur pembedahan dapat dilakukan tergantung indikasi. Percobaan terkontrol lobektomi pada bagian temporal anterior telah dilakukan yang memberikan hasil penurunan kejang sebesar 70% pada pasien dewasa dengan resistensi obat epilepsi yang fokusnya terletak di lobus temporal. Prosedur kuratif lainnya termasuk reseksi struktur lesi (lesinektomi) misalnya pada tumor sel glia dan malformasi vaskuler. Meskipun, MRI memperlihatkan tidak ada lesi pada pasien dengan epilepsi temporal dan ekstratemporal, reseksi kemungkinan dibutuhkan yang pertimbangannya berasal dari gambaran CT-Scan dengan atau tanpa monitoring EEG.
Prosedur paliatif dimaksudkan untuk menghambat kerusakan otak karena epilepsi dan mengurangi frekuensi kejang, yang dipertimbangkan jika kemungkinan reseksi pada fokus kejang tidak bisa dilakukan. Korpus kallosotomi biasanya dilakukan pada anak-anak dengan gejala ketidakmampuan dalam belajar dan mengalami serangan kejang yang berat, utamanya ketika penyakit ini menyebabkan kejang atonik yang berhubungan dengan trauma (sering jatuh). Tindakan ini pada orang dewasa bisa bermanfaat tetapi hanya untuk mengurangi derajat epilepsi. Transeksi multiple subpial jarang dilakukan kecuali pada keadaan dimana fokus epilepsinya tidak dapat diremove karena lokasinya dekat dengan korteks yang mengatur pusat bicara. Tindakan ini biasanya dilakukan pada pasien anak yang telah mengalami reseksi korteks yang menyebabkan kesulitan dalam mencapai kesembuhan. Hemisferetomi biasanya dilakukan pada anak-anak dan dewasa, yang merupakan tindakan yang cukup berbahaya oleh karena luasnya area penyakit dan hemisfer serebral epleptogeniknya diremove untuk menghentikan fungsinya. Stimulator nervus vagus merupakan generator nadi multiprogram yang dipasang pada dada bagian atas pasien dan mengantarkan impuls listrik ke nervus vagus umumnya nervus kiri pada leher. Alat ini telah digunakan sebagai terapi adjunctive untuk orang dewasa dan anak-anak yang berumur lebih dari 12 tahun dengan onset kejang parsial yang resisten terhadap obat antiepilepsi. Keberhasilan pembedahan ini bersifat medium.
Diet ketogenik (tinggi lemak, rendah protein, rendah karbohidrat) diberikan pada pasien anak dengan resistensi obat antieplepsi. Percobaan secara random menunjukkan frekuensi kejang menurun lebih dari 50% dengan lama penerapan konsumsi makanan ini selama lebih kurang 1 tahun. Diet ketogenik ini cukup efektif untuk semua jenis kejang. Masalah utama yang biasa dihadapi adalah ketaatan terhadap batasan pola makan yang tidak menyenangkan.
Dalam 2 tahun terakhir, dua jenis obat terbaru dari golongan sodium chanel bloker, lacosamide (Amerika Serikat dan Eropa) and eslicarbazepine (Eropa) telah diizinkan penggunaanya pada orang dewasa yang mengalami jenis kejang parsial dengan ataupun tanpa kejang general sekunder. Rufinamide telah menunjukkan kefektifannya pada penanganan sindrom Lennox-Gastaut pada bayi dan anak-anak. Baru-baru ini, vigabatrin telah diizinkan pula penggunaannya di Amerika Serikat sebagai obat adjuvant untuk kejang parsial kompleks pada orang dewasa dan sebagai monoterapi pada spasme bayi yang berumur 1 bulan sampai 2 tahun. Stiripentol telah disetujui penggunaannya di eropa pada anak-anak yang menderita sindrom Dravet (sindrom epilepsi yang jarang didapatkan). Di Eropa dan Amerika Serikat telah menjamin peredaran retigabin (ezogabin di amerika serikat) sebagai terapi adjuvant untuk penanganan kejang parsial dengan atau tanpa gejala kejang general sekunder pada dewasa yang susah disembuhkan. Tidak seperti obat antiepilepsi lainnya, obat ini bekerja dengan membuka chanel potassium. Obat lainnya yang digunakan pada fase percobaan ketiga adalah brivaracetam (menyerupai levetiracetam, yang berikatan dengan molekul protein vesikel sinaptik 2A) dan perampanel, yang memodulasi neurotransmisi glutamate yang dimediasi oleh α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazole asam propionat (AMPA).
Pasien yang ditemukan memenuhi kriteria resistensi obat harus dipertimbangkan untuk mendapatkan penanganan pembedahan, utamanya jika pasien ini telah pernah mendapatkan operasi sebelumnya misalnya pada sclerosis hipokampus unilateral atau lesi reseksi lainnya. Keputusan untuk mendapatkan penanganan terapi membutuhkan pemeriksaan resiko-keuntungan sebelumnya termasuk mempertimbangkan percobaan obat antiepilepsi yang mendukung ataupun yang tidak. Prosedur pembedahan dapat dilakukan tergantung indikasi. Percobaan terkontrol lobektomi pada bagian temporal anterior telah dilakukan yang memberikan hasil penurunan kejang sebesar 70% pada pasien dewasa dengan resistensi obat epilepsi yang fokusnya terletak di lobus temporal. Prosedur kuratif lainnya termasuk reseksi struktur lesi (lesinektomi) misalnya pada tumor sel glia dan malformasi vaskuler. Meskipun, MRI memperlihatkan tidak ada lesi pada pasien dengan epilepsi temporal dan ekstratemporal, reseksi kemungkinan dibutuhkan yang pertimbangannya berasal dari gambaran CT-Scan dengan atau tanpa monitoring EEG.
Prosedur paliatif dimaksudkan untuk menghambat kerusakan otak karena epilepsi dan mengurangi frekuensi kejang, yang dipertimbangkan jika kemungkinan reseksi pada fokus kejang tidak bisa dilakukan. Korpus kallosotomi biasanya dilakukan pada anak-anak dengan gejala ketidakmampuan dalam belajar dan mengalami serangan kejang yang berat, utamanya ketika penyakit ini menyebabkan kejang atonik yang berhubungan dengan trauma (sering jatuh). Tindakan ini pada orang dewasa bisa bermanfaat tetapi hanya untuk mengurangi derajat epilepsi. Transeksi multiple subpial jarang dilakukan kecuali pada keadaan dimana fokus epilepsinya tidak dapat diremove karena lokasinya dekat dengan korteks yang mengatur pusat bicara. Tindakan ini biasanya dilakukan pada pasien anak yang telah mengalami reseksi korteks yang menyebabkan kesulitan dalam mencapai kesembuhan. Hemisferetomi biasanya dilakukan pada anak-anak dan dewasa, yang merupakan tindakan yang cukup berbahaya oleh karena luasnya area penyakit dan hemisfer serebral epleptogeniknya diremove untuk menghentikan fungsinya. Stimulator nervus vagus merupakan generator nadi multiprogram yang dipasang pada dada bagian atas pasien dan mengantarkan impuls listrik ke nervus vagus umumnya nervus kiri pada leher. Alat ini telah digunakan sebagai terapi adjunctive untuk orang dewasa dan anak-anak yang berumur lebih dari 12 tahun dengan onset kejang parsial yang resisten terhadap obat antiepilepsi. Keberhasilan pembedahan ini bersifat medium.
Diet ketogenik (tinggi lemak, rendah protein, rendah karbohidrat) diberikan pada pasien anak dengan resistensi obat antieplepsi. Percobaan secara random menunjukkan frekuensi kejang menurun lebih dari 50% dengan lama penerapan konsumsi makanan ini selama lebih kurang 1 tahun. Diet ketogenik ini cukup efektif untuk semua jenis kejang. Masalah utama yang biasa dihadapi adalah ketaatan terhadap batasan pola makan yang tidak menyenangkan.
Penanganan Terbaru dan Emergensi Resistensi Obat Antiepilepsi
Penanganan terbaru pada pasien dengan resistensi obat antiepileptik telah mengalami perkembangan yang berbasis klinis dan teknologi dengan pendekatan terapi sistem intrakranial dan ekstrakranial. Sistem terapi terbaru ini menggunakan elektroterapi dan farmakoterapi dimana pada beberapa kasus pengaturan pemberian obatnya tergantung pada kejang yang dideteksi oleh sensor. Saat ini telah dikembangkan sebuah alat pendeteksi kejang yang mengantarkan stimulasi elektrik bilateral dari nukleus anterior ke thalamus. Penelitian multicentre mengenai alat ini telah dilakukan secara double blind dan random yang melibatkan 100 orang dewasa yang mengalami resistensi obat epilepsi. Hasil yang didapatkan pada pasien dengan stimulasi elektrik mengalami penurunan frekuensi serangan kejang cukup baik sebesar 29% dibanding pada kelompok control (tanpa rangsangan). Setelah dua tahun dalam fase percobaan berkelanjutan, nilai median penurunan frekuensi kejangnya sebesar 56% dengan 54% pasien mengalami penurunan frekuensi serangan kejang paling tidak sebesar 50% dan terdapat 14 pasien yang tidak mengalami serangan kejang selama 6 bulan.The Food And drugs Administration Neurological Devices Panel merekomendasikan pemakaian alat ini.
Alat lainnya sedang dalam fase percobaan klinik pada orang dewasa yang menggunakan sistem closed-loop. Alat ini juga bekerja menyampaikan stimulasi elektrik pada bagian otak yang bisa menimbulkan kejang. Dari data klinik terbatas yang telah dipublikasikan memperlihatkan alat ini cukup menjanjikan. Strategi tindakan lainnya yang bisa digunakan adalah seperti radiosurgery stereotactic, terapi stem-sel dan gen.
Terapi Alternatif Dan Tambahan
Terapi alternatif dan tambahan meliputi sistem pengobatan dan jenis produk yang umumnya tidak dimasukkan dalam pengobatan konvensional. Contohnya, di Amerika Serikat terapi alternatif dan tambahan ini dilakukan secara luas (lebih dari 50% pasien epilepsi di negara maju telah menggunakan terapi ini), meskipun pasien jarang melaporkan penggunaan terapi ini kepada dokter. Pada umumnya pasien menggunakan terapi alternatif dan tambahan bukan untuk pengontrolan kejang melainkan untuk tujuan kesehatan secara umum atau untuk meredakan gejala-gejala yang telah mereka rasakan sebelumnya, seperti depresi.
Pada sebuah penelitian terkontrol multicentre dan double-blind didapatkan bahwa tidak ada terapi tambahan dan alternatif yang efektif untuk epilepsi. Berkebalikan dengan kepercayaan yang ada selama ini bahwa “bahan alami aman”, namun beberapa terapi justru bersifat berbahaya untuk orang dengan epilepsi. Kemudian bahan alami ini memberikan resiko efek samping yang cukup uang besar, dapat berinteraksi dengan obat-obat antiepilepsi, dan memperburuk kejang. Salah satu bahan natural yang dilaporkan bermanfaat untuk pasien epilepsi adalah ginkgo biloba, yang biasa digunakan untuk meningkatkan fungsi kognitif. Selain itu, pengunaan bahan ini dapat menurunkan kadar konsentrasi phenitoin dan valproat dengan menginduksi enzim cytochrom p-450 (CYP2C19) yang mempercepat metabolismenya di hati. Namun, data klinis yang mendukung interaksi relevansi klinis masih belum cukup. Meskipun demikian, beberapa produk alami dan senyawa pokoknya telah menunjukkan aksi yang relevan terhadap penyakit epilepsi atau memiliki efek antikonvulsi yang sesuai dengan percobaan yang dilakukan pada hewan dan saat ini sedang dikembangkan evaluasi preklinik lebih jauh.
0 komentar:
Post a Comment