Powered By Blogger

Thursday, April 1, 2010

Penanganan Trauma Limpa Pada Anak

PENANGANAN TRAUMA LIMPA PADA ANAK
Penulis: dr.Fitria Ningsih, Refarat Bagian Bedah Universitas Hasanuddin Makassar


Trauma merupakan salah satu penyebab utama kematian pada anak-anak yang berumur lebih dari 1 tahun.(1,2) Setiap tahunnya diperkirakan 20.000 anak-anak dan remaja meninggal karena trauma.(2) Trauma dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu trauma tumpul dan trauma tajam. Trauma tumpul merupakan jenis trauma yang paling banyak ditemukan pada anak, yakni sekitar 85-90%.(1) Dimana, trauma tumpul seperti kecelakaan lalu-lintas dan jatuh merupakan contoh jenis trauma yang paling sering terjadi.(3)
Selain kepala dan ekstremitas, abdomen merupakan salah satu regio anatomi yang sering terkena trauma pada anak-anak dan menempati urutan ketiga. Trauma abdomen memiliki hubungan yang signifikan dengan morbiditas dan memiliki laju mortalitas setinggi 8,5%.(4) Limpa merupakan salah satu organ dalam abdomen yang sering terkena trauma tumpul,(5) dengan kejadian sekitar 1/3 dari angka trauma abdomen keseluruhan.(6) Limpa memainkan beragam fungsi, seperti hematopoesis (eritrosit, granulosit, megakariosit, limposit, dan makrofag), sebagai wadah penyimpanan platelet dan elemen-elemen lainnya, fungsi fagositosis (tempat destruksi sel darah merah), serta fungsi imunitas (tempat pembentukan antibodi).(7)
Oleh karena fungsi imunologi dari limpa, maka pada beberapa abad terakhir ini penanganan trauma limpa menjadi berubah yakni penyelamatan organ tersebut dibandingkan dengan splenektomi (pengangkatan limpa).(8) Hal ini telah dilakukan oleh Simpson’s pada tahun 1968 yang mempublikasikan keberhasilan penanganan non-operatif pada anak yang didiagnosis trauma limpa. Awalnya diusulkan oleh Warnsborough pada tahun 1950, kemudian kepala bedah umum di rumah sakit untuk anak di Toronto melakukan penelitian yang sama dan era penanganan non-operatif dari trauma limpapun dimulai dengan laporan bahwa terdapat 12 anak yang sembuh dengan penanganan ini, antara tahun 1956 - 1965.(6) Pada refarat ini akan sedikit dijelaskan mengenai trauma limpa dengan perkembangan penanganannya sekarang.

Pada minggu ke-5 masa gestasi, bagian saluran usus yang akan menjadi bagian dari perut muncul sebagai benda padat pada daerah foregut. Benda padat tersebut tertempel pada dinding belakang tubuh melalui lipatan peritoneal, yakni mesogastrium dorsal. Beberapa minggu selanjutnya perut berotasi terhadap bidang longitudinal dan anteroposterior. Hasilnya, ujung pilorus akan berpindah pada bagian kanan dan jantung pada bagian kiri; bagian kiri menghadap anterior serta bagian kanan menghadap posterior. Dari rotasi ini mesogatrium dorsal tertarik dan membentuk kantong pada bagian kiri dari bidang median. Kantung ini terus berkembang dan terletak di samping perut serta membentuk bursa omentum. Pada saat yang sama, jaringan limpa fetal mulai berkembang dari kondensasi bagian mesoderm pada mesogastrium dorsal. Kondensasi ini terjadi akibat dari pembagian mesogastrium menjadi 2 bagian, yakni antara perut dan jaringan limpa fetal membentuk ligamentum gastrisplenicus. Kemudian antara ligamentum tersebut dan ginjal menjadi ligamentum lienorenal. Kondensasi dari jaringan mesenkim akan menyatu menjadi limpa.(9)

Limpa merupakan sebuah organ yang berwarna ungu gelap, dengan vaskularisasi yang banyak, berbentuk seperti kacang buncis yang berasal dari jaringan mesodermal.(10) Organ ini terletak pada kuadran kiri atas, bagian superior berhubungan dengan permukaan bawah kiri dari diafragma dan dilindungi pada bagian anterior, lateral dan posterior oleh costa 9-11.(11) Pada bagian anterior terdapat gaster, bagian posterior berhubungan dengan ginjal dan kolon terlek pada bagian inferior.(12) Posisi limpa difiksasi oleh beberapa ligamentum suspensorium yaitu, ligamentum splenophrenica, splenorenal, splenocolica dan gastrosplenica.(11)
Arteri limpa akan terbagi pada hilum menjadi cabang superior dan inferior, yang kemudian terbagi menjadi 4 atau 5 cabang segmental, dimana setiap cabang memperdarahi 1 segmen limpa. Vena limpa terbentuk dari 5 atau lebih percabangan yang meninggalkan hilum. Vena tersebut berjalan dismaping pankreas untuk menyatu dengan vena mesentericum superior, yang akhirnya menuju ke vena portal.(9)

Dikutip dari : The Internet Encyclopedia Of Science(13)

Diambil dari : Human Anatomi-Grays Anatomi(14)
Dikutip dari : The Internet Encyclopedia Of Science(13)

Secara mikroanatomi, limpa tersusun atas 2 bagian yaitu pulpa putih dan pulpa merah yang dihubungkan oleh daerah berbatas yang disebut marginal zone. Pulpa putih tersusun atas limfosit B dan T, yang terletak pada folikel limfoid. Folikel limfoid ini memiliki germinal centre, khususnya pada anak-anak. Pulpa merah terdiri dari jaringan kompleks sinus vena dan korda Billroth. Korda ini mengandung makrofag limpa, yang berperan penting dalam fungsi fagositosis. Sinus dilalui oleh sel endotel jenis partikuler yang terdiri dari endotelial dan marker histiositik (yang diketahui sebagai sel littoral) dan memiliki dinding diskontinu, yang menghubungkan perjalanan sel darah antara korda dan sinus.(7)

Dikutip dari : Human Anatomi-Grays Anatomi(14)

IV.1. Fagositosis
Fungsi utama limpa adalah fagositosis. Sel darah merah yang tidak berguna lagi dan rusak akan dikembalikan ke limpa setiap hari dari sirkulasi, sebagai partikel asing, mikroba, antigen, dan partikel seluler debris. Proses ini terjadi di sinusoid dan korda limpa melalui kerja dari makrofag endotel.(9)

IV.2. Respon Imun
Limpa terdiri atas akumulasi sel imfoid terbesar yang terdapat didalam tubuh, yakni sekitar 25% dari keseluruhan jumlah limfosit T dan 10-15% untuk limfosit B. Sel darah dan antigen terperangkap pada kantung limpatik periarteriolar dan dibawa ke sel imunokompeten, menyebabkan produksi antibodi oleh sel plasma dan peningkatan ukuran germinal centre pada folikel limfoid. Limpa terlibat dalam proses kompleks imun, dan ikatan antibodi-antigen pada respon imun. Setelah splenektomi, pasien mengalami penurunan kemampuan menghasilkan respon igM, menurunkan kapasitas untuk respon antigen polisakarida, dan penurunan aktivitas pada jalur komplemen alternatif. Kesemua hal tersebut akan menyebabkan defisiensi fungsi imun yang biasa dikenal dengan infeksi postsplenektomi yang sering menjadi komplikasi setelah spelenektomi.(9)

IV.3. Tempat Penyimpanan Eritrosit
Fungsi ini lebih sedikit ditemukan pada manusia dibanding pada spesies lainnya tetapi limpa terdiri dari volume darah yang besar (sekitar 8% dari sel darah merah) yang lainnya tersimpan dalam sinus vena atau pada lubang retikuler korda. Selama keadaan emergensi seperti anoksia, sejumlah volume darah akan menuju ke sirkulasi. Pembesaran limpa menunjukkan proporsi yang besar dari volume darah (lebih dari 40%), termasuk platelet dan sel darah putih.(9)

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi trauma pada anak-anak. Faktor-faktor tersebut adalah umur, jenis kelamin, perilaku dan lingkungan. Dari faktor-faktor tersebut umur dan jenis kelamin merupakan faktor penting yang dapat menimbulkan trauma. Pada anak-anak laki-laki yang berumur lebih muda dari 18 tahun memiliki resiko dan angka kematian yang lebih tinggi, yang kemungkinan diakibatkan oleh perilaku yang agresif dan keterpaparan terhadap aktivitas-aktivitas olahraga berbahaya. Pada anak balita, jatuh merupakan penyebab terbanyak. Tragisnya, lingkungan rumah merupakan tempat terjadinya trauma yang paling sering ditemukan. Sekitar 35% trauma pada anak terjadi di lingkungan rumah yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dan pengasuhan.(2)
Trauma limpa biasanya ditemukan pada trauma tumpul, dimana kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab terbanyak. Walaupun trauma tajam (seperti luka tembak dan luka pisau) bisa juga mengenai organ ini. (8) Trauma tajam pada anak lebih sedikit ditemukan dengan jumlah sekitar 8-12% dari keseluruhan kasus trauma pada trauma centre.

Pada anak-anak, kematian karena trauma lebih banyak dibandingkan kematian karena penyebab lainnya. Kematian karena trauma yang tidak disengaja terdapat sekitar 65% dari jumlah kematian karena trauma secara keseluruhan pada anak-anak yang berumur lebih muda dari 19 tahun. Dari tahun 1972-1992, kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama kematian pada anak-anak yang berumur antara 1-19 tahun, kemudian diikuti oleh karena pembunuhan ataupun bunuh diri dan tenggelam. Setiap tahun, diperkirakan 20.000 anak-anak dan remaja meninggal karena trauma. Serta terdapat sekitar 50.000 anak-anak yang mengalami kecacatan permanen setiap tahun oleh karena trauma.(2)
Jumlah trauma abdomen mencapai 8-10% dari seluruh kasus trauma yang terdapat pada rumah sakit anak. Hampir sekitar 80% dari trauma abdomen disebabkan oleh trauma tumpul dan kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab yang paling sering ditemukan. Bentuk-bentuk trauma organ dalam abdomen beragam tergantung pada mekanisme penyebabnya. Khususnya organ limpa jumlah kejadiannya sebesar 27% untuk trauma tumpul dan sebesar 9% untuk trauma tajam.(4)
Trauma limpa dapat mengenai semua umur. Puncak insiden berada pada umur remaja dan umur pertengahan (15-35 tahun).(15) Secara keseluruhan, umumnya trauma tumpul limpa pada anak-anak terjadi pada jenis kelamin laki-laki, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan sebesar 2:1.(15)

VII.1. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik dari trauma limpa bervariasi.(8) Pasien dengan trauma tumpul limpa dapat menimbulkan manifestasi klinik dengan banyak cara. Terdapat beberapa pasien yang datang asimptomatik dan yang lainnya datang dengan gejala yang berat. Keluhan yang paling sering ditemukan pada pasien yang keadaan umumnya stabil adalah nyeri abdominal bagian atas kiri atau nyeri panggul. Meskipun begitu, nyeri ini tidak dapat dijadikan acuan yang signifikan berasal dari limpa tetapi mungkin saja berhubungan dengan jaringan, trauma pada tulang, dan iritasi peritoneal oleh karena hemoperitoneum. Selain itu, tidak ditemukannya hematoma subkapsuler yang sesuai dengan derajat trauma limpa akan lebih mendukung asal nyeri tersebut tidak berasal dari limpa. Hal ini tidak menggambarkan bahwa limpa tidak memiliki sensor nyeri. Serat nyeri terletak diantara kapsul limpa, dan dapat menimbulkan respon yang kuat sebagai bukti beratnya gejala yang ada selama infark limpa terjadi. Derajat nyeri ditimbulkan oleh hematoma subkapsuler yang sering didapatkan oleh klinisi dan pasien.(15) Nyeri bahu kiri juga dapat ditemukan sebagai nyeri alih karena iritasi dari serat nervus di bawah diafraghma.(8)
Jika tidak disertai dengan perdarahan intraperitoneal dapat ditemukan nyeri abdominal difus dan iritasi peritoneal. Jika disertai dengan perdarahan intra-abdominal yang volumenya melebihi 5-10% volume darah, manifestasi klinis yang ditimbulkan berupa shock hipovolemia. Dengan tanda-tanda takikardi, takipnea, gelisah, dan kecemasan. Pasien juga akan mengalami pucat ringan yang didapatkan oleh keluarga dan temannya. Pada pemeriksaan fisis didapatkan penurunan capillary refill dan tekanan darah. Semakin berat perdarahan yang terjadi dalam rongga abdomen, akan menimbulkan distensi abdomen, tanda-tanda peritoneal dan shock.(8)
Selain gejala-gejala tersebut sekitar 25-30% pasien juga mengakui mengalami hipotensi.(9) Hipotensi pada pasien yang dicurigai mengalami trauma limpa, utamanya pada pasien muda dengan sebelumnya sehat, merupakan tanda yang tidak baik dan membutuhkan penanganan operatif. Hal ini membutuhkan evaluasi dan penanganan yang cepat. Pasien tidak stabil yang pada pemeriksaan CT-scan didapatkan trauma limpa, lebih baik di tangani secara operatif.(8)

VII.2. Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium yang diperhatikan adalah jumlah sel darah merah dan kadar hemoglobin yang jarang membantu penatalaksanaan pasien yang dicurigai mengalami trauma limpa. Kedua pemeriksaan ini dapat mengetahui perkembangan penyakit bila dilakukan secara serial. Diagnosis dapat dilakukan jika didapatkan perdarahan secara terus-menerus atau hemodilusi karena volume resusitasi.(16)

VII.3. Radiologi
VII.3.1. Computed Tomography Scan (CT-Scan) Abdomen
Meskipun banyak pemeriksaan radiologi yang dapat diusulkan pada trauma limpa, CT-Scan merupakan modalitas radiografi utama yang sering digunakan oleh sebagian besar rumah sakit. CT-Scan yang digunakan sebaiknya bersamaan dengan kontras secara intravena untuk memaksimalkan perbedaan densitas antara parenkim limpa dan hematoma. Pemeriksaan ini memberikan penilaian limpa dan jaringan sekitar yang terbaik. Tujuan tambahan dari pemeriksaan ini adalah kemampuannya dalam melihat semua organ-organ abdomen secara bersamaan yang juga kemungkinan terkena trauma sekunder.(17)
Keterbatasan penggunaan pemeriksaan ini sangat sedikit tapi sangat penting. Keterbatasan yang mengganggu tingkat kepercayaan interpretasi dari CT-scan adalah gerakan pada waktu pengambilan foto. Sensitifitas pemeriksaan ini menurun jika pasien tidak dalam keadaan diam pada meja scan. Sedasi yang adekuat sangat penting dilakukan pada beberapa pasien. Secara keseluruhan sensitivitas dan spesifisitas dari pemeriksaan ini dalam mendeteksi trauma limpa mendekati 100%, sesuai dengan beberapa pengalaman para ahli. Beberapa kekurangan dari pemeriksaan ini biasanya dihasilkan oleh misinterpretasi informasi.(17)
Sistem klasifikasi derajat trauma limpa telah beberapa kali dibuat, yang pertama kali dibuat oleh Buntain dan kawan-kawan. Berdasarkan American Association For The Surgery Of Trauma (1994), klasifikasi derajat dari trauma limpa adalah sebagai berikut :(17)
- Derajat 1 :
   a. Terdapat hematoma subkapsuler kurang 10% pada area permukaan.
   b. Ukuran kapsul kurang dari 1 cm.
- Derajat 2 :
  a. Hematoma subkapsuler sekitar 10-50% pada area permukaan.
  b. Diameter hematoma intraparenkim kurang dari 5 cm.
  c. Ukuran laserasi sekitar 1-3 cm dan tidak mengenai pembuluh darah trabekula.
- Derajat 3 :
  a. Hematoma subkapsuler lebih dari 50% area permukaan atau terdapat rupture subkapsuler atau hematoma parenkim.
  b. Hematoma intraparenkim lebih dari 5 cm atau lebih.
  c. Ukuran laserasi lebih dari 3 cm dan mengenai pembuluh darah trabekula.
- Derajat 4 : Laserasi pada bagian segmental atau hillum pembuluh darah dengan devaskularisasi limpa yang lebih dari 25%.
- Derajat 5 : Limpa mengalami kerusakan atau trauma pada hilum pembuluh darah.

Dikutip dari : Splenic Injury From Blunt Trauma In Children : Follow Up
Evaluation With CT (18)

Gambar di atas merupakan gambaran CT-Scan seorang anak berumur 11 tahun yang mengalami kecelakaan sepeda. Pada gambar tersebut didapatkan bahwa pasien ini mengalami trauma limpa grade 3 dengan gambaran hematoma (anak panah) yang ukuran diameternya lebih dari 3 cm.(18)

VII.3.2. Ultrasonografi (USG) Abdomen
Tujuan utama penggunaan USG limpa dalam pemeriksaan trauma tumpul abdomen adalah untuk mengetahui adanya darah dalam kuadran kiri atas.(17)
Darah akut akan terlihat sebagai gambaran hiperechoic dan dapat anechoic. Untuk membedakan darah yang terdapat pada subkapsuler dan perisplenik cukup sulit, tetapi terdapat beberapa perbedaan seperti berikut : (17)
- Gambaran bulan sabit halus yang memenuhi garis tepi limpa, dipertimbangkan sebagai perdarahan subkapsuler.
- Darah yang terdapat pada ekstrakapsuler biasanya berbentuk ireguler.
- Meskipun efek massa dapat dihasilkan oleh kedua kasus, darah pada subkapsuler lebih dapat mengubah bentuk limpa.
- Membran pada perdarahan subkapsuler biasanya sangat tipis dan tidak dapat digambarkan. Oleh karena itu, jika ditemukan gambaran seperti itu, diagnosis lainnya dapat disingkirkan.
Dalam beberapa jam, pembekuan darah akan terjadi. Echogenisitas akan meningkat sebagai thrombus. Hematoma yang matur memperlihatkan echogenisitas yang sama atau lebih tipis dibandingkan jaringan parenkim dan tanda-tanda ini akan bertahan sekitar 48 jam sampai lisis dimulai. Fase echogenik didapatkan ketika foto dilakukan pada waktu keadaan akut. Sebagai hasil lisis, hematoma akan kembali ke echogenisitas cairan, dan keadaan patologi dapat kembali dilihat dengan jelas.(17)
Abnormalitas parenkim limpa biasanya tidak terlihat (sangat halus). Gambaran laserasi dari parenkim terlihat sebagai daerah hiperechoic, yang dapat berbentuk ireguler atau linear. Pada infark limpa akan terlihat gambaran yang sama, tetapi biasanya hal ini memiliki makna yang lebih baik.(17)

VII.3.3. Angiography
Angiografi biasanya dilakukan setelah pemeriksaan CT-scan, dengan hasil yang terlihat berupa gambaran kontras pada arteri menjadi merah atau terjadi ekstravasasi aktif. Angiografi merupakan modalitas diagnostik yang kurang penting pada trauma limpa dan lebih bermanfaat untuk persiapan terapi angioembolisasi untuk menghentikan perdarahannya.(16)

VII.3.4. Magnetic Resonannce Imaging (MRI)
Pemeriksaan MRI telah dilaporkan sebagai pemeriksaan yang dapat digunakan pada pasien dengan gagal ginjal atau pasien yang alergi terhadap kontras.(16)

Penanganan setiap pasien trauma harus dimulai dengan pemeriksaan ABCs yang sesuai dengan pedoman Advance Trauma Life Support (ATLS).(4) Fase Awal (primary survey) berupa airway, breathing, dan sirkulasi.(4,19) evaluasi dan penanganan utama yang dapat dilakukan adalah perbaikan jalan napas, penilaian terhadap tulang servikal, dan shock. Evaluasi trauma intra-abdominal pada anak-anak diawali dengan mengetahui mekanisme trauma yang terjadi apakah trauma tumpul atau trauma tajam.(19)
Kemudian penanganan trauma limpa pada anak-anak dilakukan berdasarkan tingkat keparahannya, yang akan dijelaskan sebagai berikut :

VIII.1. Konservatif (Non-Operatif)
Sejak laporan pada tahun 1970 tentang keberhasilan penanganan non-operatif trauma limpa, penatalaksaan trauma limpa pada anak menjadi berubah secara dramatis. Kemudian beberapa penelitian menetapkan keberhasilan dan keamanan yang didapatkan oleh terapi non-operatif ini.(3) Selain itu, oleh karena resiko sepsis yang terjadi karena splenektomi, menyebabkan penanganan trauma limpa berupa konservatif menjadi pilihan kecuali jika terdapat gangguan hemodinamik.(2)
Terapi konservatif trauma limpa beragam dari rumah sakit yang satu dengan yang lainnya tetapi umumnya biasa digunakan pada pasien-pasien dengan tanda hemodinamik yang stabil, kadar hemoglobin yang stabil selama 12-48 jam, keperluan tranfusi darah yang minim (2U atau kurang), derajat trauma 1-2 berdasarkan CT-Scan tanpa kemerahan pada kontras, dan pasien berumur kurang dari 55 tahun.(20)
Penggunaan terapi konservatif ini dilakukan berdasarkan derajat trauma, untuk menilai trauma tumpul pada anak. Setiap anak harus dinilai secara hati-hati untuk kesesuaian dalam menjalani pengobatan. Anak dengan derajat 3 ke atas mendapatkan minimal perawatan ICU selama 24 jam yang diikuti dengan 3 hari perawatan biasa di bangsal. Adanya perubahan pada keadaan umum (seperti; penurunan kadar hemoglobin, dan peningkatan rasa nyeri) memerlukan pemeriksaan radiologi yang berkelanjutan. Kadang-kadang transfusi darah sangat dibutuhkan dan pemberiannya harus berdasarkan pedoman yang telah dibuat oleh institusi penanganan trauma.(4)
Setelah keluar dari rumah sakit untuk menghindari kejadian trauma berulang, aktivitas harus dibatasi dengan beristirahat di rumah, yang didefinisikan sebagai pembatasan aktivitas. Lama istirahat di rumah ditentukan berdasarkan derajat trauma yang terjadi. Pasien rawat jalan mendapatkan penanganan dijadwalkan bertepatan dengan lamanya istirahat di rumah. Setelah itu pasien sudah bisa melakukan kegiatannya untuk kembali bersekolah. (4)
Pembatasan aktivitas ini didasarkan pada derajat trauma. Kesehatan anak tetap dinilai sampai masa rawat jalan berakhir. Pada anak yang telah sehat dapat kembali ke aktivitas semula tanpa antisipasi peningkatan resiko perdarahan ulang.(4)
Penanganan trauma limpa berdasarkan pedoman dari Trauma Committee Of The American Pediatric Surgical Association (APSA) dapat dilihat pada tabel berikut :(4)


Laju kesuksesan terapi ini telah dilaporkan sebesar 97,4% untuk trauma hepar dan limpa. Penanganan trauma limpa dengan cara ini aman juga dilakukan pada anak-anak yang disertai trauma kepala.(3) Pada sebuah review terbaru yang ditulis oleh Holmes dan kawan-kawan mencari faktor-faktor predisposisi yang bisa menyebabkan kegagalan terapi non-operatif ini. Data dikumpulkan selama 5 tahun dari beberapa institusi dan mendapatkan 1.818 pasien anak yang menderita trauma limpa, hepar, pankreas dan ginjal. Kesemuanya mendapatkan penanganan non-operatif dan yang mengalami kegagalan sebesar 5%. Alasan dari kegagalan penanganan ini diakibatkan oleh shock, peritonitis, perdarahan persisten, trauma pankreas, trauma hollow viscous, dan ruptur diafrghma. Secara keseluruhan mortalitas pada penelitian kohort ini mencapai 0,8%, pada pasien di kelompok yang gagal. Waktu kegagalan selama 4 jam sebesar 59% dan 87% selama 1 jam. Resiko kegagalan mengalami peningkatan yang signifikan jika dihubungkan dengan mekanisme trauma oleh karena sepeda, trauma pankreas tertutup dan derajat trauma 5. Trauma yang mengenai lebih dari 1 organ padat abdomen memiliki tingkat kegagalan yang cukup tinggi.(2)
Data ini menegaskan pentingnya kewaspadaan pada penanganan anak dengan trauma organ padat abdomen. Dimana anak-anak yang mengalami kegagalan penanganan non-operatif ini kemungkinan besar karena tidak diperhatikan penanganannya dalam 12 jam pertama. Perbedaan penanganan non-operatif trauma organ padat abdomen antara dewasa dan anak-anak adalah pada orang dewasa kegagalannya cenderung lebih lambat, sedangkan pada anak-anak 98% kegagalannya terjadi dalam 72 jam. (2)
Tempat perawatan anak-anak yang mengalami trauma limpa turut berperan pula pada pengambilan keputusan tindakan untuk penanganan trauma limpa pada anak. Hal ini berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Stylianos dan kawan-kawan (2006) mendapatkan bahwa terlihat perbedaan yang signifikan antara perawatan anak dengan trauma limpa di trauma centre dan non-trauma centre. Dimana didapatkan bahwa anak-anak yang ditangani di trauma centre lebih sedikit mendapatkan penanganan operatif dibandingkan yang ditangani di non-trauma centre. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan penanganan trauma limpa bergantung pada tempat perawatannya.(21)
Selain itu, penanganan non-operatif ini juga memiliki resiko komplikasi jangka panjang yang sedikit. Hal ini sejalan dengan sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh KW Kristoffersen dan kawan-kawan yang mendapatkan bahwa dari 228 pasien yang ditangani secara konservatif yang telah diwawancarai hanya terdapat 1 pasien yang mengalami komplikasi lama yakni pembentukan kista limpa dengan gejala nyeri lebih dari 4 minggu setelah trauma terjadi.(22)
Kemudian dari penelitian Hugo T.C.Veger dan kawan-kawan menyarankan bahwa pasien anak dengan trauma tumpul limpa derajat II dan IV berumur 0-18 tahun sebaiknya mendapatkan penanganan non-operatif. Akan tetapi penanganan ini tidak dilakukan pada trauma tumpul limpa derajat V.(23)

VIII.2. Operatif
Terapi pembedahan biasanya dilakukan pada pasien dengan tanda-tanda perdarahan yang terus-menerus atau keadaan hemodinamik yang tidak stabil. Di beberapa rumah sakit, pemeriksaan CT-Scan trauma mencapai grade V dengan tanda-tanda vital stabil akan mendapatkan penanganan non-operatif, tetapi pasien dengan trauma seperti ini akan dilanjutkan dengan laparatomi eksplorasi untuk menentukan derajat, perbaikan dan tindakan selanjutnya dengan tepat. (20)
Ruptur limpa yang lambat terjadi dapat ditemukan kapan saja utamanya pada hari ketiga sampai kelima setelah trauma terjadi. Anak-anak akan mengalami hipotensi dan tidak memberikan respon terhadap resusitasi dan memerlukan tindakan pembedahan (splenektomi).(5) Splenorrhaphy merupakan tindakan operatif perbaikan limpa karena trauma. prinsip dari pembedahan ini adalah menghilangkan jaringan yang mati dan memperkirakan struktur limpa yang masih baik.(10)
Setelah pengangkatan limpa, dapat terjadi peningkatan resiko infeksi dan sepsis. Khususnya mikroorganisme tidak berkapsul. Oleh karena itu, vaksin pneumococcal dan H. influenza harus diberikan pada pasien dengan spelenektomi parsial ataupun komplit.(5) Insidensi infeksi postsplenektomi terjadi sekitar 0,23-0,42% per-tahun, dan lebih sering mengenai anak-anak. Kasus infeksi ini termasuk dalam kasus emergensi yang membutuhkan antibiotik parenteral dan penanganan intensif (pemberian immunoglobulin) dapat bermanfaat.(24)
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh James P Koren (2002), didapatkan bahwa pada 3 pasien hemofilia yang mengalami trauma limpa, penanganan yang dilakukan adalah pembedahan berupa splenorraphy dan splenektomi, yang dikombinasikan dengan pemberian obat-obat koagulopati. Hasil dari penelitian ini menunjukkan keberhasilan pada 2 pasien, sedangkan pasien yang satunya meninggal.(25)

VIII.3. Embolisasi
Peranan embolisasi arteri limpa pada trauma limpa anak juga telah dibuktikan.(2) SAE (spleen arterial embolization) telah lama dijelaskan dengan beragam pendekatan, namun penggunaan terapi ini pada anak-anak belum begitu berkembang.(26)

Algoritme Penanganan Trauma Limpa :

Dikutip Dari : Oxford Teksbook Surgery (9)

Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh Eastern Association for The Surgery Of Trauma menunjukkan angka mortalitas trauma limpa masih ditemukan, meskipun pada pusat trauma level 1. Tetapi secara keseluruhan hasil yang didapatkan dari penanganan trauma limpa derajat 1-2 baik tetapi tidak sempurna dan menjadi lebih buruk seiring dengan peningkatan derajat. Prognosis biasanya baik tetapi pada pasien yang telah mengalami splenektomi oleh karena trauma memilki resiko infeksi lebih tinggi.(26)

Komplikasi penanganan non-operatif termasuk perdarahan yang lambat, pembentukan kista limpa, dan nekrosis limpa. Komplikasi splenorafi seperti perdarahan ulang dan thrombosis pada limpa sisa.(26)
Komplikasi splenektomi termasuk peradarahan dari pembuluh darah gaster dan limpa, dan komplikasi yang paling menakutkan tetapi jarang terjadi adalah infeksi organisme tidak berkapsul seperti pneumococcus.(26)

DAFTAR PUSTAKA
1. Osborn, M, Lucy., et.al. Injury & Trauma In: Pediatrics. Elsevier Mosby. Pensylvania: 2005.p.279-285.
2. Alterman, Mark, Daniel. Consideration In: Pediatric Trauma. (online) 19 agustus 2008. (cited) 17 Maret 2009. Available in URL : http://emedicine.medscape.com/article/435031-overview  
3. Adzic, S, N., Nance, L, Michael. Pediatric surgery-second of two part. (online) 8 Juni 2008. (cited) 17 Maret 2009. Available in URL : http://content.nejm.org/cgi/content/full/342/23/1726   
4. Saxena, K, Amulya., Et.al. Abdominal Trauma. (online) 11 Januari 2008. (cited) 17 Maret 2009. Available in URL : http://emedicine.medscape.com/article/940726-overview  
5. Strange, R, Gary., et. al. Abdominal Trauma In: Pediatric Emergency Medicine. McGrawHill. USA: 2004.p.56-61.
6. Stylianos,s., Pearl, H, Richard. Abdominal Trauma in: Pediatric Surgery 6th Edition. Elsevier Mosby. Philadelphia: 2006.p.295-303.
7. Rosai, Juan. Spleen In: Surgical Pathology. Mosby. British: 2004.p.2019-2020.
8. Bjerke, Scott, H., Et. al. Splenic Rupture. (online) 27 Juli 2006. (Cited) 17 Maret 2009. Available in URL : http://emedicine.medscape.com/article/432823-overview  
9. Clarke, Jane., Morris, Peter. Surgery Of The Spleen in: Oxford Teksbook Surgery. Elsevier. USA: 2000.
10. Doherty, M Gerard., Et al. Spleen In: Current Surgical Diagnosis & Treatment 11th Edition. McGraw-Hill. India : 2003.p.652-667.
11. Schwartz, I Seymour. Spleen In: Principle Of Surgery 7th Edition. McGraw-Hill. USA: 1999.p.1501-1513.
12. Russel, RCG. Spleen In: Baylei Surgical Teksbook. McGraw-Hill. USA: 2000.
13. Anonim. Spleen In: The Internet Encyclopedia Of Science. (Online) 2009. (Cited) 26 Maret 2009. Available in URL : http://www.daviddarling.info/encyclopedia/S/spleen  
14. Anonim. The Spleen In: Human Anatomy-Gray’s Anatomy. (online) 2009. (Cited) 26 Maret 2009. Available in URL : http://www.theodora.com/anatomy/the_spleen  
15. Klepac, R, Steven. Spleen Trauma. (online) 16 Januari 2009. (cited) 16 Maret 2009. Available in URL : http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview  
16. Bjerke, Scott, H., Et. al. Splenic Rupture. (online) 27 Juli 2006. (Cited) 17 Maret 2009. Available in URL : http://emedicine.medscape.com/article/432823-workup  
17. Klepac, R, Steven. Spleen Trauma. (online) 16 Januari 2009. (cited) 16 Maret 2009. Available in URL : http://emedicine.medscape.com/article/373694-imaging  
18. Ellen, C, Benya., Dorothy,I., Et al. Splenic Injury From Blunt Trauma In Children : Follow Up Evaluation With CT. (online) 2009. (cited) 23 Maret 2009. Available in URL: http://www.pediatric-radiology.com/  
19. Saladino, A, Richard., Lund, P, Dennis. Abdominal Trauma In: Textbook Of Peditric Emergency Medicine 4th Edition. Lippincott. USA:2000
20. Bjerke, Scott, H., Et. al. Splenic Rupture. (online) 27 Juli 2006. (Cited) 17 Maret 2009. Available in URL : http://emedicine.medscape.com/article/432823-Treatment  
21. Stylianos, s., Egorova, N., Et al. Variation In treatment of pediatric spleen injury at trauma centers versus nontrauma centers : a call for dissemination of American pediatric surgical association benchmarks and guidelines. (online) 2006. (cited) 17 Maret 2009. Available in URL : http://www.medscape.com/medline/abstract/15629986  
22. KW,Kristoffersen., DP, Mooney. Long-Term Outcome Of Nonoperatif pediatric Splenic Injury Management. (online) 1 Juni 2007. (cited) 23 Maret 2009. Available in URL : http://www.nejm.com/  
23. TC, Hugo., Jukema, N, Gerrolt. Pediatric Splenic Injury : Nonoperatif Management First. (online) 2008. (cited) 23 Maret 2009. Available in URL: http://www.medscape.com/medline/abstract/10022143  
24. RN. Davidson. Prevention And Management Of In Patient Without A spleen. (online) 2009. (Cited) 23 Maret 2009. Available in URL : http://www.medscape.com/medline/abstract/11843905  
25. Koren, P, James.,Klein, R, Robert., Kavic, S, Michael., et al. Management Of Splenic Trauma In pediatric Hemophiliac Patient: Case Series And Review Of The Literature. Available in URL: http://www.jpedsurg.org/article/PIIS0022346802826835/fulltext 
26. Bjerke, Scott, H., Et. al. Splenic Rupture. (online) 27 Juli 2006. (Cited) 17 Maret 2009. Available in URL : http://emedicine.medscape.com/article/432823-Treatment  


0 komentar:

Post a Comment